Juli 10, 2013

Mengapa Hisab Hakiki Wujudul Hilal ? (Catatan atas pertanyaan terhadap langkah Muhammadiyah)




Disarikan dari :
  1. Pedoman Hisab Muhammadiyah, MTT PP Muhammadiyah, Yogyakarta, 2009;
  2. Hisab BUlan Kamariah : Tinjauan Syar'i tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, Syaikh Muhammad Rasyid Ridho, Prof. Dr. Mustafa Ahmad az-Zarqa, Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA., Edisi II Cetakan 1, Suara Muhammadiyah, 2009;
  3. Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi, Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA., Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, 2011
  4. Ilmu Falak : Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Dr. Susiknan Azhari, MA., Suara Muhammadiyah, Cetakan II, Yogyakarta, 2007
  5. Ilmu Falak, Dra. Maskufa, MA., Gaung Persada, Cetakan Kedua, Jakarta, 2010
  6. Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat, Prof. Dr. Thomas Djamaludin, 2011
Tentang Hisab[1]
Kata “Hisab” berasal dari kata Arab al-hisab yang  secara harfiah berarti perhitungan atau pemeriksaan. Dalam Al-Qur’an kata hisab banyak disebut dan secara umum dipakai dalam arti perhitungan seperti firman Allah SWT :

الْيَوْمَتُجْزَىكُلُّنَفْسٍبِمَا كَسَبَتْلَا ظُلْمَالْيَوْمَإِنَّاللَّهَ سَرِيعُالْحِسَابِ
“Pada hari ini, tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan (pemeriksaan)-Nya” (QS. Ghafir : 17)

Dalam Al-Qur’an juga disebut beberapa kali kata “yaum al-hisab”, yang berarti hari perhitungan. Misalnya firman Allah SWT :
إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ الَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
sesungguhnya orang-orang yang sesat dijalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan” (QS. Shad : 26)
Dalam surat Yunus ayat 5, hisab malah digunakan dalam arti perhitungan waktu, sebagaimana firman Allah SWT :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السّنِيْنَ وَالحِْسَابَ مَا خَلَقَ اللهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الأيَاَتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat orbit)bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)” (QS. Yunus : 5)
Dalam hadits kata “hisab” lebih banyak digunakan untuk arti perhitungan Hari Kemudian. Namun dalam hadits :
“Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi; kami tidak bias menulis dan tidak bias melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh Sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari” (Al-Bukhari, II:281, hadits no. 1913,”Kitab as-Saum”, dari Ibn ‘Umar ; Muslim, I:482, hadits no. 1080:15, “Kitab as-Siyam”, dari Ibn ‘Umar).
Kata kerja nahsubu menunjukan arti perhitungan gerak bulan dan matahari untuk menentukan waktu, yaitu hisab untuk menentukan bulan qomariyah.
Dalam bidang fiqh menyangkut penentuan waktu-waktu ibadah, hisab digunakan dalam arti perhitungan waktu dan arah tempat guna kepentingan pelaksanaan ibadah, seperti penentuan waktu shalat, waktu puasa, waktu idul fitri, waktu haji, dan waktu gerhana untuk melakukan shalat gerhana, serta penetapan  arah kiblat agar dapat melaksanakan shalat dengan arah yang tepat ke Ka’bah. Penetapan waktu dan arah tersebut dilakukan dengan perhitungan terhadap posisi-posisi geometris benda-benda langit khususnya matahari, bulan dan bumi guna menentukan waktu-waktu di muka bumi dan juga arah.
Pengkajian mengenai posisi-posisi geometris benda-benda langit guna menetukan penjadwalan waktu di  muka bumi merupakan bagian dari apa yang dalam peradaban Islam disebut Ilmi Haiah yang menurut al-Mas’udi (w.364 H/957 M) merupakan padanan istilah Yunani ‘astronomi’. Ilmu Haiah (astronomi) sering juga disebut Imu Falak, namun istilah ilmu haiah dalam sejarah Islam lebih populer dan lebih banyak digunakan. Ini terbukti nila kita membuka Program al-Jami’ al-Kabir, misalnya, akan terlihat bahwa istilah ‘ilmu haiah’ disebut sebanyak 345 kali, sedangkan istilah ‘ilmu falak’ hanya 97 kali. Di zaman modern sekarang istilah ilmu haiah tenggelam dan hampir tidak terdengar lagi.
Ilmu Falak (astronomi/ilmu haiah) jauh lebih luas dari sekedar mempelajari posisi geomteris benda langit untuk tujuan praktis  seperti penentuan waktu. Hal terkahir ini hanya satu bagian saja dari ilmu falak (astronomi) dan ulama-ulama zaman tengah menamakan yang terakhir ini ‘ilm al-mawaqit’(ilmu waktu). Al Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M) mendefiniskan  ‘ilm al-mawaqit’ sebagai “salah satu cabang ilmu haiah (ilmu falak) yang mengkaji waktu-waktu ibadah dan penentuan arah kiblat dan semua arah lain serta kedudukan sutau tempat di muka bumi dari segi bujur dan lintangnya dengan melibatkan pengetahuan tentang langit serta ketinggian, peredaran, sinar dan bayangan kerucut benda langit”. Al Qalqasyandi juga menyatakan bahwa ilmu waktu  merupakan cabang ilmu falak (ilmu haiah) yang paling mulia kedudukannya dalam pandangan syariah. Sedangkan ilmu falak (ilmu haiah) dalam definisi ‘ulama-‘ulama zaman tengah adalah “suatu cabang pengetahuan yang mengkaji keadaan benda-benda langit dari segi bentuk, kadar, kualitas, posisi, dan gerak benda-benda langit”. Pada zaman modern, Muhammad Ahmad Sulaiman mendefinisikan ilmu falak sebagai “ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang berkaitan dengan alam semesta berupa benda-benda langit diluar atmosfir bumi, seperti matahari, Bulan, bintang, system galaksi, planet, satelit, komet, dan meteor dari segi asal-usul, gerak, fisik, dan kimianya dengan menggunakan hukum-hukum matematika, fisika, kimia dan bahkan biologi”. Oleh karena itu untuk membedakan ilmu falak dalam arti astronomi dengan ilmu falak khusus mengkaji gerak matahari dan bulan untuk menetukan waktu-waktu ibadah dan arah kiblat, maka ilmu falak yang terakhir ini disebut ilmu falak syar’i.
Ilmu falak syar’I terkadang disebut juga dengan ilmu hisab. Hanya saja penamaan ilmu hisab ini populer di kalangan beberapa fukaha. Sesungguhnya dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam secara umum, terutama di lingkungan para pengkaji sains Islam di masa lampau, ilmu hisab bukan ilmu falak, melainkan adalah ilmu hitung (aritmatika), yaitu suatu cabang pengetahuan yang mengkaji tentang bilangan melalui penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan seterusnya serta penggunaannya untuk berbagai keperluan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak ‘ulama fiqh menggunakan ilmu ini untuk melakukan perhitungan faraid dan wasiat. Dalam beberapa Kitab Fiqh besar, seperti az-Zakhirah karya al-Qarafi (w. 684 H/1285 M), ilmu hisab dijadikan satu pembahasan panjang sebagai sarana untuk kepentingan perhitungan pembagian warisan. Para ahli hisab pun juga memanfaatkan teori-teori aritmatika ini untuk kepentingan perhitungan hisab astronomi. Itulah mengapa dengan mudah kemudian ilmu falak (astronomi) diasosiasikan dengan ilmu hisab. Di Indonesia pun juga ilmu falak syar’I sering disebut ilmu hisab.

Kontroversi Hisab dan Rukyat[2]
Perbedaan pendapat tentang cara penentuan bulan kamariah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah seperti Ramadhan, Syawwal dan Zulhijah sudah timbul sejak lama dalam perdaban Islam. Dalam kaita ini ada dua pendapat berbeda :
  1. Pendapat yang menyatakan bahwa penentuan awal bulan kamariah untuk pelaksanaan ibadah adalah dengan cara rukyat, yaitu melihat bulan secara fisik dengan mata; tidak boleh menentukan awal bulan kamariah dengan menggunakan hisab astronomi. Pendapat ini merupaka pendapat mayoritas sejak zaman lampau hingga sekarang.
  2. Pendapat kedua menyatakan bahwa boleh menentukan bulan kamariah, termasuk bulan-bulan ibadah yang meliputi Ramadhan, Syawwal dan Zulhijah, dengan menggunakan hisab astronomi bahkan penggunaan hisab dipandang lebih utama karena lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan rukyat yang, selain sukar, sering pula tidak akurat. Pendukung pandangan  ini merupakan minoritas kecil di zaman lampau, namun pengikutnya kian bertambah sejalan dengan kian bertambah majunya pengetahuan hisab astronomi. Pada zaman modern, pandangan ini disuarakan oleh ‘ulama-‘ulama besar seperti Muhammad Rasyid Ridho, Mustafa Ahmad az-Zarqa, Ahmad Syakir (ahli hadits abad ke-20), dan Yusuf al-Qardhawi.
Alas an pendapat pertama, yang menyatakan bahwa cara syar’i untuk menentukan bulan kamariah ialah rukyat dan tidak boleh menggunakan hisab, adalah beberapa hadits Nabi Muhammad SAW di samping argument rasional. Hadits-hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :
  1. Hadits-hadits yang memerintahkan memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan ketika telah mellihat hilal, antara lain sabda Nabi Muhammad SAW :
Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila mau melihatnya beridulfitrilah ! jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah” (Hadits Rimayat al-Bukhari, dan lafal diatas adalah lafalnya, dan juga diriwayatkan Muslim) [3]
Hadits ini memerintahkan agar memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan dengan rukyat, dan bilamana cuaca berawan sehingga tidak dapat melihat hilal, maka hendaklah dibuat estimasi (perkiraan/perhitungan).
  1. Hadits-hadits yang melarang puasa dan beridul fitri sebelum melihat hilal :
Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridul fitri sebelum melihat hilal; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah” (HR. Al Bukhari dan Muslim)[4]
Hadits ini melarang memulai dan mengakhiri puasa sebelum melihat hilal. Perintah melakukan “estimasi” dalam kedua hadits di atas manakala hilal tidak dirukyat karena langit berawan ditafsirkan dengan menggenapkan bilangan bulan sedang berjalan menjadi 30 (tiga puluh) hari, sejalan dengan hadits berikut :
Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridulfitrilah karena melihat hilal pula; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Syakban tiga puluh hari” (HR. Bukhari, dan lafal di atas adalah lafalnya, dan jga diriwayatkan Muslim)[5]
  1. Hadits tentang keadaan ummat yang masih ummi, yaitu sabda Nabi Muhammad SAW :
Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi; kami tidak bias menulis dan tidak bisa melakukan hisab; Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adaah kadang-kadang dua puluh Sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari” (HR. al-Bukhari dan Muslim)[6]
Pemahamannya adalah bahwa hadits ini menjaid ‘illat larangan penggunaan hisab, karena ummat tidak mengenal hisab. Penetepan bulan kamariyah itu harus berdasarkan sarana yang mudah bagi ummat, yaitu rukyat yang tidak memerlukan pengetahuan canggih dan dapat dilakukan oleh semua orang. Ibn Hajar menambahkan bahwa penggunaan rukyat kemudian berlangsung terus sekalipun pada zaman kemudian telah terdapat banyak orang yang menguasai hisab.
Cara pemahaman ini tampaknya agak kurang mengena, karena apabila ‘illat larangan penggunaan hisab adalah keadaan ummat yang ummi, maka setelah keadaan ummi itu hilang di mana telah tercapai kemajuan ilmu astronomi seperti sekarang, tentu ‘illat ini tidak berlaku lagi. Al-Qardhawi mengomentari bahwa seandainya melarang hisab tentu juga ia melarang baca tulis karena hadits itu menyebutkan kedua hal tersebut bergandengan. Jelas ini tidak logis dan tidak seorangpun mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW melarang baca tulis. Oleh karena itu hadits ini tentu juga tidak melarang penggunaan hisab.
  1. Argument pemikiran, yaitu bahwa hisab merupakan spekulasi dan tidak memberikan kepastian.

Perlu dicatat bahwa dalam hadits-hadits Nabi Muhammad SAW perintah rukyat hanya terkait dengan Ramadhan dan Syawwal, sedang perintah rukyat untuk bulan Zulhijah tidak disebutkan dalam hadits.
Pendapat kedua-berbeda dengan pendapat pertama- disamping menggunakan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW juga menggunakan ayat-ayat Al Qur’an untuk mendukung kebolehan penggunaan hisab. Keseluruhan argument yang dikemukakan oleh pendukung pendapat ini dapat diringkas sebagai berikut :
  1. Firman Allah dalam surat ar-Rahman ayat 5 dan surat Yunus ayat 5 ;
الشمس والقمر بحسبان
Artinya Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan” [QS. Ar-Rahman (55): 5]

هوالذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عددالسنين والحساب
ما خلق الله ذالك الابالحق يفصل الايت لقوم يعلمون
Artinya         “ Dia-lah yang menjadikan Matahari bersinardan Bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya bagi Bulan itu manzilah-manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui” [QS. Yunus (10) :5]
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Bulan dan matahari memiliki sitem peredaran yang ditetapkan oleh Sang Pencipta dan peredarannya itu dapat dihitung. Penegasan bahwa peredaran matahari dan Bulan dapat dihitung bukan sekedar informasi, melainkan suatu isyarat agar dimanfaatkan untuk penentuan bilangan tahun dan perhitungan waktu secara umum.
  1. Firman Allah SWT dalam surat Yaasin ayat 39-40 :
 .والقمر قدرنه منازل حتى عاد كالعرجون القديم
لاالشمس ينبغي لها ان تدرك القمر ولااليل سابق النهار وكل في فلك يسبحون
Artinya         Dan telah Kami tetapkan bagi Bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya” [QS. Yaasin (36) : 39-40]
Ayat 39 surat Yaasin ini bila dihubungkan kepada ayat 5 surat Yunus menjelaskan bahwa Allah SWT telah menetapkan manzilah-manzilah bagi perjalanan Bulan mengelilingi bumi. Ketetapan Allah SWT itu bersifat pasti sehingga oleh karena itu, bila dihubungkan kepada ayat 5 surat ar-Rahman, perjalanan Bulan dan posisi-posisinya dapat dihitung. Ini adalahisyarat kepada penggunaan hisab. Selain itu kedua ayat surat Yaasin ini memberikan pula kriteria hisab untuk menentukan awal bulan baru. Dalam ayat 39 dijelaskan bahwa Bulan dalam perjalanan kelilingnya mengelilingi Bumi menempati posisi-posisi hingga posisi terakhir dimana terjadi kelahiran Bulan baru.
Secara astronomis kelahiran Bulan baru itu adalah saat ijtimak (konjungsi), yaitu saat Bulan berada pada titik terdekat kepada garis lurus antara pusat bumi dan matahari. Jadi ayat ini member isyarat bahwa terjadinya konjungsi (ijtimak) adalah salah satu kriteria untuk menentukan awal bulan baru. Hanya saja kriteria ini belum memadai karena ijtimak bisa terjadi kapan saka; pagi, siang, tengah malam, dini hari dan seterusnya, sementara bulan itu harus utuh bilangannya, tidak bisa 29⅜ hari misalnya. Oleh karena itu diperlukan kriteria lain lagi sebagai tambahan, yaitu saat pergantian hari seperti diisyaratkan oleh ayat 40. Saat pergantian hari itu adalah saat matahari terbenam (maghrib). Kemudian ayat 40 itu juga mengisyaratkan satu kriteria lagi, yaitu pada waktu terbenamnya matahari bulan sudah mengejar matahari, dengan kata lain Bulan berada diatas ufuk. Jadi kriteria awal bulan baru adalah ada tiga, yaitu ;
1)      Telah terjadi ijtmak,
2)      Ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam (sebelum maghrib), dan
3)      Pada saat terbenamnya matahari, Bulan berada diatas ufuk.
Apabila ketiga kriteria itu terpenuhi (tidak secara terpisah, namun menyeluruh), maka malam itu dan keesokan harinya merupakan bulan baru, dan apabila salsah satu dari kriteria ini tidak terpenuhi, maka malam itu dan keesokan harinya merupakan hari terkahir (ketiga puluh) bulan yang sedang berjalan, dan bulan baru dimulai lusa.

  1. Hadits tentang ummat yang ummi yang sudah dikutip di atas, yaitu :
Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi; kami tidak bias menulis dan tidak bisa melakukan hisab; Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adaah kadang-kadang dua puluh Sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari” (HR. al-Bukhari dan Muslim)[7]
Berbeda dengan pendapat pertama, pendpat kedua justru melihat bahwa hadits ini merupakan penegasan ‘illat (alasan hukum) mengapa Nabi Muhammad SAW memerintahkan melakukan rukyat untuk memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan. ‘Illat perintah itu adalah mengingat keadaan ummat yang masih ummi, yaitu belum mengenal secara luas baca tulis dan ilmu hisab. Oleh karena itu sartana untuk menandai masuknya bulan kamariyah ditetapkan hal yang mudah dan dapat dilakukan saat itu, ialah rukyat. Ini artinya bahwa setelah ummat terbebas dari keadaan ummi  dimana mereka telah mengenal baca tulis dan menguasai ilmu hisab, maka tidak lagi digunakan rukyat, melainkan digunakan hisab. Hal itu karena hisab merupakan sarana yang lebih memberikan kepastian. Ini sesuai dengan kaidah fiqh yang menyatakan “hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ‘illat”. Berdasarkan hadits ini ditegaskan suatu kaidah :
Artinya Pada asasnya penetapan bulan kamariyah itu adalah dengan hisab”[8]

  1. Pada sabda Nabi Muhammad SAW, yang diatas juga telah dikutip, yaitu :
Artinya “. . . jika Bulan terhalang awan terhadapmu, maka estimasikanlah” [HR. Bukhari dan Muslim][9]
Berbeda dengan pendapat pertama, pendapat kedua yang membolehkan penggunaan hisab, melihat bahwa pernyataan “estimasikanlah” dalam hadits ini  diartikan perhitungan dengan hisab astronomi. Artinya jika bulan terlindung oleh keadaan mendung sehingga tidak dapat dirukyat, maka buatlah perhitungan, posisinya sudah tinggi dan memungkinkan terlihat seandainya tidak ada penghalang, maka akhirilah bulan berjalan dan mulailah bulan baru. Jadi dalam hadits ini ada isyarat penggunaan hisab.
  1. Argumen pemikiran bahwa rukyat bukanlah merupakan bagian dari ibadah, melainkan hanyalah sarana untuk menentukan bulan kamariyah. Oleh karena itu apabila ditemukan sarana lebih baik dan lebih memberikan kepastian, dalam hal ini hisab, maka digunakanlah sarana tersebut.
  2. Termasuk argumen rasional ini adalah pemikiran yang menyimpulkan keseluruhan hadits mengenai masalah ini berlandaskan induksi tematis. Artinya bahwa tema umu yang dapat disimpulkan dari keseluruhan hadits-hadits di atas bukan memerintahkan rukyat untuk memulai dan mengakhiripuasa Ramadhan. Hal itu karena rukyat tidak selalu dapat dilakukan lantaran ada kalanya Bulan tertutup awan sehingga tidak bisa dirukyat. Sehingga Nabi Muhammad SAW menyebutkan cara lain juga, yaitu melakukan perhitungan (estimasi) atau menggenapkan bulan berjalan menjadi tiga puluh hari. Bahkan dalam praktiknya Nabi Muhammad SAW juga mendasarkan kepada kesaksian para saksi. Jadi jelas di sini bukan rukyat yang menjadi tema dalam keseluruhan hadits mengenai masalah ini. Yang menjadi tema dalam keseluruhan hadits-hadits bersangkutan adalah pemastian bahwa bulan baru telah mulai. Cara untuk memastikan bahwa bulan baru telah mulai adalah dengan beberapa cara ;rukyat, estimasi/penggenapan bulan berjalan 30 hari, dan kesaksian para saksi. Cara-cara ini adalah sarana yang tersedia pada zaman Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu bila pada zaman  kita sekarang dikembangkan cara yang lebih akurat, dalam hal ini hisab astronomi, maka cara yang lebih akurat itulah yang digunakan.
  3. Dalam konteks pembuatan kalender Islam internasional dan upaya penyatuan tanggal Hijriyah seluruh dunia sekarang berkembang argumen baru bagi penggunaan hisab, yaitu bahwa rukyat tidak dapat dipakai untuk pembuatan kalender dan penyatuan penanggalan Islam se-dunia. Tampakan hilal di muka bumi pada visibilitas pertama terbatas adanya dan tidak mengkover seluruh permukaan bumi. Bahkan kawasan yang terletak di atas Lintang Utara 600 tidak dapat meihat hilal saat matahari bergerak (pergerakan semu matahari yang timbul karena rotasi bumi) pada titik balik selatan, begitu pula sebaliknya. Selain tampakan hilal juga bisa membelah Negara-negara. Pada tampakan pertama hilal, ada bagian muka bumi (sebelah barat) yang bisa melihatnya dan ada bagian muka bumi (sebelah timur) yang tidak dapat melihatnya. Akibatnya kawasan yang dapat melihatnya memasuki bulan baru keesokan harinya, dan kawasan yang tidak dapat melihatnya memasuki bulan baru baru lusa. Ini artinya terjadi ketidaksamaan memasuki bulan baru seperti Ramadhan dan Syawwak. Oleh karena itu pada tingkat pakar dalam forum-forum internasional untuk penyatuan penanggalan Islam masalah hisab sudah dianggap selesai[10] dan tidak perlu diperdebatkan lagi karena tanpa hisab tidak mungkin meyatukan penanggalan Hijriyah. Atas dasar itu tidak heran apabila Temu Pakar II, yang diseleggarakan ISESCO (Islamic Educational, Scientific, and Cultural Organization) bekreja sama dengan Association Marocaine d’Astronomie (Maroko) dan Jam’iyyat ad-Da’wah al-Islamiyyah al-‘Alamiyyah (Libia) pada tanggal 14-15 Syawwal 1429 H/15-16 Oktober 2008, membuat suatu kesimpulan ;
Para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan kamriah di kalangan kaum Musliminn tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penggunaan hisab untuk menetapkan awal bulan kamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat . . .[11]
Perlu diketahui bahwa pendapat yang membenarkan penggunaan hisab bukanlah suatu hal baru, melainkan telah merupakan pandangan yang cukup tua dalam sejarah Islam, walaupun pada mulanya hisab hanya digunakan pada saat cuaca mendung. Orang pertama tercatat membolehkan penggunaan hisab adalah Mutarrif Ibn ‘Abdillah Ibn asy-Syikhkhir (w. 95 H/714 M), seorang ‘ulama tabi’in besar, kemudian Imam asy-Syafi’I (w. 204 H/820 M), dan Ibnu Suraij (w. 306 H/918 M), seorang ‘ulama Syafiiah abad ke-3 H. dalam kaitan ini Ibn Rusyd Sang Cucu (w. 585 H/1199 M) menegaskan ;
Diriwayatkan dari beberapa ‘ulama salaf bahwa apabila Bulan tertutup awan, maka dipegangi hisab dengan memperhitungkan perjalanan Bulan dan matahari. Ini adalah mazhab Mutarrif asy-Syikhkhir, seorang ‘ulama Tabi’in Besar. Ibn Suraij meriwayatkan dari Imam as-Syafi’I bahwa beliau mengatakan ; “Barangsiapa mazhabnya adalah memegangi hisab perbintangan dan posisi-posisi Bulan kemudian melalui pembuktian dengan hisab itu ternyata Bulan seharusnya dapat dilihat seandainya tidak ada awan, maka dia boleh berpuasa dan puasanya itu sah”[12]
Dalam al-Muhazab, Imam asy-Syirazi (w. 476 H/1083 M) menulis :
Apabila hilal tertutup awan dan ada orang yang mengetahui hisab dan manzilah-manzilah BUlan dengan hisab itu ia megetahui bahwa bulan Ramadhan telah masuk, maka tentang ini ada dua pendapat : Menurut Abu al-Abas (Ibn Suraij, pen), orang itu wajib puasa karena ia telah mengetahui masuknya bulan dengan suatu dalil sehingga sama dengan kesaksian (rukyat). . .[13]
‘Ulama-‘ulama lain yang memegangi hisab adalah Muhammad Ibn Muqatil as-Razi (w. 242 H/857 M), murid dari Muhammad Ibn al-Hasan sahabat Abu Hanifah itu, Ibn Qutaibah (w. 276 H/889 M), Muhyidin ibn ‘Arabi (w. 637 H/1240 M), Ibn Daqiq al-‘Id (w. 702 H/1302 M), dan beberapa yang lain. Ibn ad-Daqiq al-‘Id memegangi hisab imkanur rukyat dan menolak hisab ijtimak[14]. Dalam karyanya Syarh ‘Umdat al-Ahkam sebagaimana dikutip oleh al-Gumari (w. 1380 H/1960 M), ia menegaskan :
 Pendapat yang saya terima adalah bahwa hisab yang dipegangi untuk mulai puasa tidak boleh berdasarkan kriteria bergesernya Bulan dari matahari (dari garis ijtimak, pen). . .  Adapun apabila hisab menunjukan bahwa hilal telah muncul di ufuk dengan posisi yang memungkinkan untuk dilihat seandainya tidak ada penghalang seperti awan misalnya, maka ini mewajibkan dimulainya puasa karena telah terdapatsebab syar’i wajibya puasa itu. Rukyat secara factual tidak disyaratkan untuk wajibnya memulai puasa karena telah disepakati bahwa orang yang berada di dalam bungker apabila dengan hisab atau dengan ijtihad mengetahui telah sempurnanya bulan berjalan wajiblah ia berpuasa meskipun ia tidak melihat Bulan atau tidak ada orang yang melihatnya yang memberitahukan kepadanya[15]
Syihabudin al-Marjani (lahir 1223 H/1808 M), seorang fakih Hanafi dari Bulgaria, menegaskan dalam karyanya Nazurat al-Haqq fi Fardiyyat al-‘Isya wa in lam Yagib asy-Syafaq ;
Masalah-masalah hisab seluruhnya qat’I dan bersifat demonstratif (burhani) di mana tidak ada jalan untuk mengingkarinya setelah difahami dan diketahui. Penyusun kitab al-Hidayah mengatakan ;”ilmu perbintangan itu ada dua bagian. Pertama bersifat hisabi (astronomi) dan ini adalah benar (sah), dan telah ditegaskan Allah SWT dalam Al-Qur’an, “matahari dan bulan beredar berdasarkan perhitungan”[QS. Ar-Rahman (55) : 5]. Sabda Nabi Muhammad SAW, “kami adalah ummat yang ummi, tidak bisa menulis dan tidak melakukan hisab”, tidak menunjukan bahwa ahli tulis dan ahli hisab itu keliru, tetapi sebaliknya menunjukkan bahwa mereka adalah benar. . . Ahli-ahli syari’ah dan lainnya dalam berbagai kasus merujuk kepada ahli dan spesialis dalam bidang bersangkutan. Mereka memegangi pernyataan para ahli bahasa untuk memahami lafal Al-Qur’an dan Hadits, dan memegangi keterangan dokter untuk menentukan sakit seperti apa yang membolehkan tidak berpuasa Ramadhan bagi orang sakit. Oleh karena itu apakah dasar melarang penentuan usia bulan Syakban dan bulan-bulan lain berdasarkan hisab yang sifatnya pasti dan sesuai dengan pemberitaan syarak[16]
Pada zaman modern kecenderungan kepada hisab semakin menguat. Hal ini tidak lepas dari pengaruh perkembangan ilmu astronomi sendiri yang semakin canggih dan mampu memperhitungkan gerak benda-benda langit secara amat akurat seperti dalam prediksi peristiwa gerhana misalnya. ‘Ulama-‘ulama besar seperti Muhammad Rasyid Ridha, Mustafa Ahmad az-Zarqa, Ahmad Syakir, Yusuf al-Qardhawi menyerukan dengan kuat penggunaan hisab. Barangkali puncak dari perkembangan pandangan pendukung hisab ini mencapai titik kulminasinya dalam argumen Syaraf al-Qudah dari Yordania,bahwa :
Asas pokok (al asl) dalam penetapan awal bulan kamariyah itu adalah hisab. Pada masa-masa awal Islam hisab memang tidak mudah dan belum akurat. Pada zaman itu yang mudah adalah rukyat bilamana cuaca terang, jika tidak, maka dilakukan penggenapan bulan berjalan tiga puluh hari. Pada zaman sekarang kita wajib kembali kepada asas pokok tadi karena ia telah menjadi mudah dan akurat untuk menetapkan masuknya bulan baru dan menolak klaim rukyat yang keliru secara sama tanpa ada perbedaan antara keduanya baik secara syar’i maupun secara keilmuan.[17]
Pandangan Syaraf al-Qudah ini bukanlah suatu yang berlebihan apabila kita melihat permasalahan dari keseluruhan semangat sumber-sumber syariah yang meliputi Al-Qur’an dan Hadits, dan tidak melihatnya hanya semata dalam hadits saja. Dalam Al-Qur’an [QS. 103:1-3] Allah SWT bersumpah demi waktu yang mengisyaratkan arti penting waktu di mana apabila tidak dapat dimanage dan diorganisasikan dengan baik akan menimbulkann kerugian. Allah SWT tidak hanya sekedar mengingatkan pentingnya manajemen dan pengorganisasian waktu, tetapi juga memberikan petunjuk bagaimana pengorganisasian waktu itu dilakukan, yaitu dengan mengamati ciptaan Allah SWT di langit dan di bumi khususnya Bulan dan matahari. Dalam kaitan ini Allah SWT menegaskan bahwa dua benda langit ini dapat dihitung geraknya [QS. 55 :5]. Penegasan ini bukan hanya sekedar informasi belaka, karena tanpa informasi seperti itupun manusia dapat mengetahui hal tersebut. Justru dalam informasi tersebut terkandung suatu petunjuk agar perhitungan gerak benda-benda langit dimanfaatkan untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu [QS. 10:5], dengan kata lian untuk melakukan pengorganisasian dan penjadwalan waktu. Inilah semangat yang pokok dari AL-Qur’an dan inilah arah pembangunan ummat dalam masalah ini yang harus dicanangkan oleh Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW menyadaari hal ini dan menyadari bahwa ini adalah salah satu tugas dari keseluruhan tugas pembebasan ummat dari keadaan ummi yang beliau emban melalui pembacaan dan pengajaran ayat-ayat, kitab dan kebijaksanaann ilahi [QS. 62:2]. Allah berfirman :

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاَ مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ
Artinya         Dia lah Tuhan yang telah mengutus seorang rasul kepada kaum yang ummi dari kalangan mereka sendiri untuk membacakan kepada mereka serta mengajar mereka kitab dan kebijaksanaan. Sesungguhnya mereka sebelum itu adalah dalam kesesatan yang nyata” [QS. Al Jumu’ah (62) : 2]
 Pada atahap pertama dimana ummat belum sepenuhnya terbebas dari keadaan ummi, yang antara lain beum sepenuhnya menguasai baca tulis dan perhitungan astronomi (hisab), maka untuk penentuan bulan kamariah sebagai bagian dari upaya pengorganisasian waktu digunakan rukyat karena itulah sarana yang mungkin dan tersedia pada zaman itu. Dalam pada itu Nabi Muhammad SAW terus mendorong ummatnya untuk mengembangkan kemampuan baca tulis dan menuntut ilmu agar mereka terbebas dari salah satu keadaan ummi ini.
Apa yang hendak ditegaskan dari uraian di atas adalah bahwa dilihat dari kesleuruha semangat Al-Qur’an dan Hadits, maka penggunaan rukyat hanyalah merupakan keadaan sementara. Asa pokoknya, seperti dikemukakan oleh Syaraf al-Qudah, adalah penggunaan hisab.
Memang banyak orang yang tidak yakin akan keabsahan penggunaan hisab lantaran kentalnya tradisi yang telah  berkembang berabad-abad. Dalam kaitan ini sering dipertanyakan, mau dikemanakan hadits . . . jika hilal terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan Syakban tiga puluh hari ?[18]Artinya hadits ini tegas bahwa jika hilal tidak terlihat karena terhalang awan, maka hendaklah menggenapkan bulan berjalan tiga puluh hari, bukan melakukan hisab. Jadi hadits riwayat lain dengan blafal . . .jika kamu terhalang awan sehingga tidak dapat melihat Bulan, maka estimasikanlah[19] harus ditafsirkan berdasarkan hadits di atas sesuai dengan kaidah ushul fiqh “membawa pernyataan mujmal kepada pernyataan mufasar”. Hadits ini adalah mujmal, sedang hadits diatasnya adalah mufasar. Hadits mujmal “estimasikanlah” harus ditafsirkan dengan “genapkanlah bulan berjalan tiga puluh hari”. Ini diperkuat pula oleh riwayat Muslim dari Ibn ‘Umar yang tegas menyebutkan :
“…maka berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridulfitrilah karena melihat hilal pula; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah tiga puluh hari”[HR Muslim][20]
Sehubungan dengan ini beberapa ‘ulama telah melakukan penyelidikan terhadap teks-teks hadits yang berbeda bahkan bertentangan tersebut. Di antara yang melakukan penyelidikan demikian adalah Syaraf al-Qudah. Ia menyelidiki matan hadits-hadits ini dengan melakukan rekonstruksi (i’tibar) sanad. Ia berkesimpulan bahwa haditsestimasikanlah [faqduru lah] diriwayatkan oleh lebih banyak rawi dan mereka juga lebih kuat, sementara hadits “genapkanlah bulan berjalan tiga puluh hari” atau “estimasikanlah bulan berjalan tiga puluh hari” rawi-rawinya kurang kuat dibandingkan dengan hadits estimasi. Ia menulis :
Setelah menhimpun riwayat-riwayat, merekonstruksi pohon sanad dan melakukan analisis perbandingan, saya mendapat kejelasan bahwa seluruh jalur riwayat melalui Salim dari Ibn ‘Umar dan melalui ‘Abdullah Ibn Dinar dari Ibn ‘Umar sepakat atas lafal “faqduru lahu” [estimasikanlah] sebagaimana terdapat dalam Bukhari, Muslim, al-Muwatta, Ibn’ Majah, an-Nasa’I dan Ahmad. Bahkan berberapa sanad dalam jalur ini dikualifikasikasi sebagai asahh al-asanid (sanad ter-shahih). Adapun riwayat “faqduru lahu tsalatsin” [estimasikanlah tiga puluh hari], maka para rawinya melalui jalur Ibn ‘Umar berbeda pendapat. Kebanyakan meriwayatkan dengan lafal “faqduru lahu”[estimasikanlah] tanpa tambahan “tsalatsin”[tiga puluh hari], seperti dalam al-Bukhari, Muslim, ad-Darimi dan Ahmad, dan jumlah riwayatnya ada sebelas buah. Sedangkan riwayat “faqduru lahu tsalatsin”[estimasikanlah tiga pulu hari] hanya ada tiga riwayat melalui Nafi’ yang tersebut dalam Muslim dan Abu Dawud[21]. Oleh karena itu riwayat “faqduru lahu”[estimasikanlah] tanpa “tsalatsin” yang lebih shahih baik dari segi jumlah rawi maupun kekuatan kedabitan mereka[22]
Sejalan dengan ini adalah analisis al-Gumari. Hasil kajiannya membawanya kepada kesimpulan bahwa riwayat “faqduru lahu tsalatsin” (estimasikanlah tiga pulu hari) dan riwayat “fa akmilu al-‘iddah tsalatsin”(sempurnakanlah bulan berjalan tiga puluh hari)bukanlah lafal otentik dari Nabi Muhammad SAW, melainkan adalah interpretasi para rawi dan merupakan kekeliruan mereka dalam memahami hadits dan kemudian meriwayatkan hadits tersebut secara makna berdasarkan pemahaman mereka sendiri[23].
Dengan kemajuan ilmu astronomi pada zaman modern sekarang banyak hal mengenai perilaku peredaran BUlan dan penampakannya di bumi dapat diketahui, yang pada zaman lampau tidak diketahui. Pada zaman para imam mujtahidin, orang belum mengetahui bahwa bumi bulat dan berputar pada sumbunya, yang oleh karena itu untuk pembuatan penanggalan harus ditetapkan sebuah garis di muka bumi ini untuk menentukan kapan dan dimana hari dimulai dan diakhiri dan itulah yang disebut Garis Tanggal Internasional. Orang saat itu juga belum mengetahui bahwa penampakan hilal di muka bumi pada waktu visibilitas pertama adalah terbatas dan membentuk garis parabolic, dan bahwa kawasan yang terletak di sebelah utara Garis Lintang Selatan 600 dan di sebelah selatan Garis Lintang Selatan 600 tidak pernah dapat melihat hilal. Pada zaman itu orang juga belum mengetahui bahwa semakin ke timur posisi pengamat di muka bumi semakin kecil peluang untuk melihat hilal.
Pada zaman modern sekarang hal itu semua dan banyak hal lainnya telah diketahui dan atas dasar itu timbul pemikiran untuk membuat suatu system kalender kamariah yang bersifat internasional. Ide pembuatan kalender Islamn kamariah internasional telah mulai bergulir sejak perepat abad terakhir abad ke-20 lalu dan terus dan terus berkembang dan menajam hingga saat ini. Telah banyak disadari bahwa tiadanya kalender Islam kamariah internasional terpadu membawa banyak kemusykilan bagi kaum Muslimin termasuk dalam pelaksanaan ibadah, seperti puasa ‘Arafah. Namun satu hal perlu dicamkan betul bahwa umat Islam tidak akan pernah mungkin bisa membuat suatu system kalender kamariah internasional terpadu tanpa sepenuhnya memegang hisab.

Kelebihan dan Kekurangan Rukyat - Imkanur Rukyat – Hisab
  1. Rukyat dan Imkanur-Rukyat
Kedua metode ini memiliki titik kesamaan yaitu visbilitas hilal atau keterlihatannya hilal. Untuk metode menentukan bulan qamariah dengan rukyat murni (tanpa atau dengan alat bantu optik ) merupakan metode paling tua dari semua metode yang ada, yaitu dengan mengamati hilal pada 29 bulan qamariah berjalan.
Beda lagi dengan Imkanur-Rukyat, metode ini boleh dibilang perpaduan antara Rukyat dan Falak Syar’i (hisab), dimana posisi hasil perhitungan memberi sinyalemen diterima atau tidaknya kesaksian perukyat dengan batas ketinggian nhilal tertentu dan jarak bulan-matahri tertentu, dimana pada beberapa kasus yang terjadi di Indonesia seperti ; kasus ditolaknya kesaksian perukyat Cakung dan Jepara pada penentuan 1 Syawaal 1432 H (2011 M), dan ditolaknya kesaksian rukyat Cakung pada penentuan 1 Ramadhan 1433 H (2012 M).
Ada beberapa peneliti yang membuat kriteria visibilitas hilal[24], diantaranya ;
1)      Limit Danjon; batas yang mensyaratkan tinggi hilal >7 (derajat),
2)      Muhammad Ilyas;
  1. Memberikan kriteria visibilitas hilal dengan beda tinggi minimal 4(derajat) untuk beda azimuth yang besar dan 10,4(derajat) untuk azimuth 0(derajat),
  2. Dengan arc of light (beda tinggi bulan-matahari) bergantung pada beda azimuth dengan minimum 4(derajat) untuk beda azimuth yang besar dan 10,4(derajat) untuk beda azimuth 0(derajat).
3)      Caldwell dan Laney : syarat minimal tinggi bulan-matahari >4(derajat)
4)      Kriteria MABIMS (2-3-8) ;
  1. Tinggi hilal minimum >2(derajat),
  2. Jarak sudut bulan-matahari harus >3(derajat), dan
  3. Umur bulan 8 jam.
5)      Kriteria Imkanur-Rukyat Thomas Djamaludin (LAPAN) atau “Kriteria Hisab Rukyat Indonesia” ;
  1. Jarak sudut bulan-matahari >6,4(derajat);
  2. Beda tinggi bulan-matahari >4(derajat).
Karena untuk beberapa tahun ini pemerintah melalui Kementerian Agama menggunakan Kriteria MABIMS (2-3-8), aka nada beberapa masalah yang akan timbul terkait penggunaan kriteria tersebut, diantaranya :
  1. Akan terjadinya perbedaan penentuan tanggal 1 bulan qamariah dengan Negara lain;
  1. Contoh kasus pada penetapan 1 Ramadhan 1433 H, dimana Indonesia berbeda dengan 78 % Negara muslim (note; bukan Negara Islam) di dunia,

Terlihat bahwa wilayah di Indonesia belum masuk bulan Ramadhan 1433 H karena masih dibawah Kriteria Imkanur-Rukyat MABIMS, namun walau Saudi pun belum masuk bulan Ramadhan 1433 H dengan kriteria Imkanur-Rukyat, namun Saudi memasuki bulan Ramadhan 1433 H pada 20 Juli 2012 M,
  1. Dengan menggunakan kriteria Imkanur-Rukyat, terjadinya perbedaan jatuhnya bulan Dzulhijjah yang berakibat pada berbedanya hari Idul Adha, dimana di Saudi sudah merayakan hari Idul Adha atau 10 Dzulhijjah namun di Indonesia baru tanggal 9 Dzulhijjah, sebagai contoh, hal tersebut akan terjadi pada:
Berdasarkan Hisab Hakiki Wujudul Hilal :
Dengan data Hilal pada tanggal 24 September 2014 Menggunakan Program Mawaqit 2001, diperoleh ;
Moonset                       : Pkl. 17:49:22
Sunset                          : Pkl. 17:51:23
Umur Bulan                 : 4,59 Jam
FIB                              : 0,05 %
Tinggi Hilal                  : 0(derajat) 10’ 28,7”
Elongasi                       : 2(derajat) 38’ 25,5”
Dengan Image Garis Tanggal sebagai berikut :

Maka 1 Dzulhijjah 1435 H berdasarkan Hisab Hakiki Wujudul Hilal akan jatuh pada 25 September 2014 M dan 10 Dzulhijjah 1435 H pada 4 Oktober 2014 M, dimana Arab Saudi pun berada pada garis tanggal yang sama dengan perhitungan Hisab Hakiki Wujudul Hilal, dengan simulasi hilal menggunakan Program Starry Night Backyard sebagai berikut :

Sedangkan jika menggunakan HIsab Kriteria Imkanur-Rukyat, dengan data pada tanggal 24 September 2014 M tidak memnuhi kriteri, maka data yang dipergunakan adalah pada tanggal 25 September 2014 M, yaitu sebagai beirkut ;
Moonset                       : Pkl. 17:49:11
Sunset                          : Pkl. 18:37:24
Umur Bulan                 : 28,59 Jam
FIB                              : 1,37 %
Tinggi Hilal                  : 10(derajat) 50’ 2,0”
Elongasi                       : 13(derajat) 22’ 25,2”
Dengan Image Garis Tanggal sebagai berikut :

Maka 1 Dzulhijjah 1435 H berdasarkan Kriteria Imkanur-Rukyat akan jatuh pada 26 September 2014 M dan 10 Dzulhijjah 1435 H pada 5 Oktober 2014 M, dimana Arab Saudi pada tanggal 5 Oktober 2014 M sudah masuk tanggal 10 Dzulhijjah 1435 H (hari ‘Idul Adha), dengan simulasi hilal menggunakan Program Starry Night Backyard sebagai berikut :


Demikian paparan yang saya sampaikan, sejujurnya saya pribadi pun masih dalam proses belajar untuk mengetahui dan mendalami ilmu astronomi (falak) lebih dalam lagi, untuk itu, saya sangat sadar jika masih sangat banyak kesalahan pada penulisan kali ini, dan untuk menyikapi perbedaan yag diakibatkan berbedanya penggunaan kriteria masuknya awal bulan qamariah, maka tiada lain adalah kita sama-sama menjunjung tinggi toleransi (tasamuh) dan ukhuwah, agar tidka menjadi hal yang mengakibatkan perpecahan dan konflik terlebih saudara-saudara di grass root, yang mengalami kendala keterbatasan informasi dan pemahaman akan masalah ini. Akhirnya penulis ingat apa yang disampaikan oleh KH. Ghozalie Masroeri pada kegiatan Mudzakarah YPAI di Jakarta sekitar awal Juli 2012, beliau menyatakan :” Muhammadiyah punya Wijudul Hilal, NU punya Ru’yatul Hilal, dan Pemerintah punya Imkanur-Rukyta al Hilal, ternyata kita sama-sama punya hilal, mari berbahagialah atas kesamaan yang kta miliki . . .”.
Wallahu a’lam bishshowwab
Fastabiqul Khoirot
Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarakatuh


[1]     MTT PP Muhammadiyah , Pedoman Hisab Muhammadiyah (Yogyakarta:MTT PP Muhammadiyah,2009), I:1-4.
[2]     Syamsul Anwar dkk, Hisab Bulan Kamariah ; Tinjaua Syar’i tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijah, ( Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2009), h. 1-20
[3]     Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Ttp.:Dar al-Fikr, 1994/1414), II : 278-279, hadits no. 1900, “Kitab as-Saum”, dari Ibn ‘Umar, Muslim, Sahih Muslim (Beirut : Dar al-Fikr, 1992/1412), I : 481, hadits no. 1080, “Kitab as-Siyam”, ari Ibn ‘Umar. 
[4]     Al-Bukhari, op.cit., II : 280, hadits no. 1906, “Kitab as-Saum”, dari Ibn ‘Umar; Muslim,op.cit., I :281, hadits no. 1080 :1, “Kitab as-Siyam” dari Ibn ‘Umar.
[5]     Al-Bukhari, op.cit., II : 281, hadits no. 1906, “Kitab as-Saum”, dari Abu Hurairah; Muslim, op.cit., I :481, hadits no. 1080 :2, “Kitab as-Siyam” dari Ibn ‘Umar dengan lafal yang sedikitn berbeda.
[6]     Al-Bukhari, op.cit., II : 281, hadits no. 1913, “Kitab as-Saum”, dari Ibn ‘Umar; Muslim,op.cit., I :482, hadits no. 1080 :15, “Kitab as-Siyam” dari Ibn ‘Umar.
[7]     Al-Bukhari, op.cit., II : 281, hadits no. 1913, “Kitab as-Saum”, dari Ibn ‘Umar; Muslim,op.cit., I :482, hadits no. 1080 :15, “Kitab as-Siyam” dari Ibn ‘Umar.
[8] Syaraf al-Qudah,”Sbut asy-Syahr al-Qamari baina al-Hadits an-Nabawi wa al-‘Ilm al-Hadits”, , h. 8, akses oleh Prf. Dr. Syamsul Anwar, MA pada 13-12-2007; pernyataan yang sama juga ditegaskan oleh  Absim dan al-Khanjari, “Waqt al-Fajr ka Bidayah li al-Yaum wa asy-Syahr al-Qamari”, , h. 6, akses oleh Prof. dr. Syamsul Anwar, MA padad
[9]     Al-Bukhari, op.cit., II : 281, hadits no. 1906, “Kitab as-Saum”, dari Abu Hurairah; Muslim, op.cit., I :481, hadits no. 1080 :2, “Kitab as-Siyam” dari Ibn ‘Umar dengan lafal yang sedikitn berbeda
[10]    Khanji, “Ru’yah Syar’iyyah Mutaqaddimah li Mas’alat Tauhid at-Taqwim al-Islami” makalah dipresentasikan pada temu pakar II, Rabat, 15-16 Oktober 2008, h. 16.
[11]    Keputusan dan Rekomendasi  “Temu Pakar II Untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam”, butir kedua [pada draf awal butir ini merupakan butir pertama, kemudian setelah oleh tim perumus diperbaiki menjadi butir kedua (dokumen pribadi Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA)
[12]    Ibn Rusy, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.), I : 207, awal “Kitab as-Siyam”
[13]    Asy-Syirazi, al-Muhazzab (Beirut : Dar al Fikr, 1994 M/1414 H), I : 250-251
[14]    Yang dimaksud dengan hisab ijtimak adalah penentuan awala bulan baru dengan kriteria ijtimak semata, dalam arti begitu Bulan bergeser dari garis ijtimak, maka bulan baru mulai, tanpa memperhatikan apakah ijtimak itu terjadi sebelum atau sesudah terbenam matahari dan apakah pada saat terbenamnya matahari Bulan berada diatas atau dibawah ufuk.
[15]    Al-Gumari, Taujih al-Anzar li Tauhid al-Muslimin fi as-Saum wa al-Iftar, edisi al-Kattani (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006 M/1427 H), h. 40.
[16]    Dikutip dalam ibid., h. 46-47.
[17]    Syaraf al-Qudah, “Isbat asy-Syahr al-Qamari baina al-Hadis an-Nabawi wa al-‘Ilm al-Hadits”, makalah disajikan dalam mu’tamar al-Imarat al-Falaki al-Awwal (Muktamar Astronomi Pertama Emirat), 22-23 Zulqaidah 1427 H/13-14 Desember 2006, h. 1
[18]    Lihat catatan no 5 diatas
[19]    Lihat catatan no 4 diatas
[20]    Muslim, op. cit., I :481, hadits no. 1080:4, “Kitab as-Siyam”, dari Ibn ‘Umar.
[21]    Yaitu riwayat Numair dan Abu ‘Usamah dari ‘Ubaidullah dari Nafi’dalam Muslim, dan riwayat al-‘Ataki melalui jalur Hammad dari Ayyub dan Nafi’ [pengutip]
[22]    Syaraf Al-Qudah, op. cit., h. 9.
[23]    Al-Gumari, op. cit., h. 56.
[24] Djamaludin, Thomas, “Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat”, (Jakarta, LAPAN, 2011), h. 13-23.

Disadur dari catatan facebook Saudara Adi Damanhuri

1 komentar:

  1. kepada ikatan pelajar muhamadiyah, kemajuan ilmu teknologi telah merubah sisi pandang umat islam pada hal menurut ilmu agama titik nol rotasi bulan mengelilingi bumi bukan pada ijtimak(kunjungsi). dengan diketahuinya jerak dan besarnya bumi dan bulan tentu bisa di stimulasikan kapan hilal itu terbentuk di lihat dari bumi dan di cerna dengan ilmu fisika. hasil cernaan saya silahkan baca di rotasibulanblogspot.com terimakasih.

    BalasHapus

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com